Tito: Wilayah Aglomerasi di RUU DKJ Banyak Dipelintir ke Mana-mana

Mendagri Tito Karnavian menyayangkan banyaknya informasi yang bias tentang Jakarta akan menjadi wilayah aglomerasi dalam RUU Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). Salah satu kesalahpahaman terhadap wilayah aglomerasi yang nantinya dipimpin oleh wakil presiden.

“Pemerintah sudah melakukan langkah-langkah awal secara proaktif yaitu mulai April ini kami menjelaskan betul isu masalah aglomerasi ini supaya tidak dipelintir ke mana-mana. Kami lihat sudah mulai pelintirnya banyak,” kata Tito dalam rapat kerja bersama Baleg DPR di Gedung DPR, Senayan, Rabu (13/3).

Dalam RUU DKJ, pembahasan soal aglomerasi ada di pasal 55. Yang jadi perhatian, dewan aglomerasi akan dipimpin oleh Wapres. Ini kerap dikaitkan dengan Gibran yang akan memimpin aglomerasi Jakarta.

Dia menuturkan proses pembahasan DKI Jakarta akan menjadi wilayah aglomerasi sudah dibahas sejak April 2022 jauh sebelum proses pemilu 2024 dimulai. Tito menjelaskan pembahasan sudah melibatkan sejumlah pakar.

“Jadi pada waktu bulan April 2022 kami sudah membuat tim untuk membuat draft dan pembahasan RUU DKJ di antaranya melibatkan ahli-ahli termasuk ahli-ahli perkotaan dari ITB, UI, UGM termasuk juga hukum tata negara Pak Jimly saat itu April tahun 2022,” ucap dia.

“Nah dalam berbagai pembahasan dan FGD dilakukan saat itu kita belum ada koalisi-koalisi pemilu 2024 apalagi paslonnya siapa enggak tahu gitu,” tambah dia.

Dalam diskusi dengan sejumlah pakar, eks Kapolri itu menuturkan diperlukan adanya harmonisasi pembangunan di wilayah Jakarta dan sekitarnya jika ibu kota sudah pindah ke IKN Nusantara.

“Dan muncullah isu dalam FGD itu tentang pentingnya penataan atau harmonisasi pembangunan mulai dari perencanaan sampai evaluasi yaitu Jakarta dan kota sekitarnya karena sudah menjadi satu kesatuan banyak persoalan-persoalan yang menjadi permasalahan bersama mulai dari permasalahan lalin, polusi; banjir kemudian migrasi penduduk bahkan masalah-masalah di bidang kesehatan seperti COVID,” tutur dia.

Karena itu, kata Tito, penamaan wilayah aglomerasi dipilih dari istilah metropolitan agar tidak menimbulkan mispersepsi bahwa Jakarta dan sekitarnya akan dijadikan satu wilayah.

“Oleh karena itu, perlu adanya harmonisasi dan penataan serta evaluasi. Oleh karena itu, ada berbagai istilah yang saat itu muncul apakah membentuk namanya kawasan metropolitan Jakarta, Jabodetabekjur atau namanya megapolitan atau namanya aglomerasi,” katanya.

“Nah kalau namanya megapolitan metropolitan seolah-olah akan dijadikan satu pemerintahan dan ini banyak ditentang karena nanti akan mengubah UU banyak sekali, UU Jabar, UU Banten, UU tentang Depok, UU tentang Bekasi banyak sekali sehingga akhirnya disepakati saat itu itu disebut saja dengan kawasan aglomerasi” tandas Tito.

By Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *